Bangsa Indonesia saat ini sedang dalam keadaan yang menyedihkan karena banyak hal buruk terjadi. Kekerasan karena kriminalitas, pembenaran pendapat dan perebutan kekuasaan terjadi dimana-mana. Rakyat menderita berkepanjangan, bencana yang diakibatkan oleh kebodohan manusia terus terjadi dimana-mana. Ada berbagai pendapat mengenai akar dari segala permasalahan ini namun dari sekian banyak pendapat terdapat satu kesimpulan bahwa pemerintah dan atau masyarakat dipandang kerap mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang tidak tepat karena seringkali keputusan diambil berdasarkan data dan fakta yang kurang memadai dan tanpa melalui proses berpikir yang tepat. Hal ini terjadi karena para pengambil keputusan kurang memiliki kecakapan berpikir kritis. Hal ini nampak jelas ketika mereka kemudian berbicara melalui media yang sering kelabakan karena tidak dapat memberikan argumen yang tepat untuk mendukung pernyataannya. Namun dilain pihak, rakyatpun memiliki andil karena tidak mampu berpikir kritis untuk memilih para pemimpinnya dan menyikapi masalah yang dihadapinya.
Sekolah mengajarkan cara berpikir kritis?
Di era global dimana ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat cepat yang disertai dengan kemajuan teknologi dan informasi melalui internet dan media lainnya, hampir semua orang dilimpahi dengan informasi dalam jumlah yang tidak terhingga. Hal ini akan berpengaruh pada kinerja sekolah (baca guru), apakah proses pembelajaran yang ditampilkan akan menjadi lebih menyenangkan dan bermakna karena pemanfaatan informasi dan teknologi informasi ataukah pembelajaran menjadi membosankan dan kurang relevan dengan konteks kekinian karena guru hanya berkutat pada materi dan metoda lama yang hanya melakukan pembelajaran satu arah dengan penekanan pada drill, penghapalan (memorization), Pekerjaan rumah (home work) dan kelas yang tertib dan senyap (quiet classroom)? Namun jika sekolah ingin memanfaatkan kelimpahan informasi dan teknologi informasi, maka guru dan siswa harus memiliki bekal yang cukup sehingga informasi yang didapatnya merupakan informasi yang benar dan bermakna dan dapat dijadikan bekal untuk pengambilan keputusan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini siswa pada semua tingkatan pendidikan, mengalami kesukaran dalam menguasai kecakapan berpikir (thinking skills) sehingga mereka sukar melakukan pemecahan masalah dan mengambil keputusan. Hal ini nampak ketika mereka mengungkapkan ide dan pendapatnya yang bersifat dangkal dan hanya menyentuh permukaan masalah tanpa elaborasi mendalam pada masalah tersebut. Namun seringkali guru berdalih bahwa mereka tidak punya cukup waktu mengajar siswa berpikir kritis karena dikejar target kurikulum dan kelulusan dalan Ujian Nasional. Jika hal ini dibiarkan maka akan sangat berbahaya ketika kelak siswa telah dewasa dan menjadi pemimpin bangsa karena mereka tidak akan mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi setiap permasalahan.
Bagaimana Cara Mengajar Keterampilan Berpikir Kritis?
Terlepas dari ada atau tidak adanya ujian nasional yang secara faktual hanya menguji kompetensi siswa melalui soal-soal pilihan ganda dan saat ini diperparah dengan mutu yang rendah untuk mengejar kelulusan, sekolah tidak boleh menunda dan harus berani melakukan pengkajian kurikulum agar proses berpikir kritis dapat dilakukan di dalam kelas. Secara teori, kecakapan berpikir (thinking skills) masuk kedalam ranah kecakapan hidup (life skills). Namun fakta dilapangan menunjukkan bahwa sekolah sering terjebak untuk mengimplementasikan life skill sebatas kecakapan vokasi ( vocational skills) saja.Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kegiatan ekstra atau ko-kurikuler yang mendukung proses penguasaan vocational skills sehingga proses pembelajaran dikelas tetap dengan metoda lama, satu arah tanpa memberikan kesempatan siswa untuk berpikir dan membosankan.
Proses berpikir tidak bisa dilepaskan dari konten , berpikir adalah cara mempelajari konten. Thinking cannot be divorced from content, in fact, thinking is way of learning content (Raths and others, 1967). Maka dalam pembelajaran di kelas siswa seharusnya diajarkan untuk berpikir logis, menganalisis dan membandingkan , mempertanyakan dan mengevaluasi. Hal ini memang tidak mudah dilakukan karena akan lebih mudah mengajarkan siswa untuk menghapal dan kemudian mengevaluasinya dengan tes berbentuk pilihan ganda. Namun jika siswa terbiasa untuk bepikir kritis maka akan lebih mudah baginya untuk mendapatkan informasi yang relevan dan bermakna.
Ada beberapa contoh aktivitas yang dapat dilakukan di dalam kelas untuk mengajarkan siswa berpikir kritis, misalnya membaca kritis (critical reading) untuk mengevaluasi, mencari perbedaan, dan mengambil kesimpulan berdasarkan bukti atau fakta. (Zintz and Maggart, 1984), menulis bebas (Freewriting) yang merupakan cara lain untuk mengajarkan kecakapan berpikir . Terdapat dua cara untuk menuliskan pendapat yaitu berpikir tingkat pertama dan berpikir tingkat kedua , first-order and second-order thinking. (Elbow, 1983). Berpikir tingkat pertama adalah dengan menulis pendapat mengenai sebuah topik berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya tanpa proses berpikir mendalam dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terstruktur. Proses ini membuat pembelajar dapat berpikir secara intuitif dan kreatif. Sedangkan menulis melalui proses berpikir tingkat kedua dibutuhkan untuk menindaklanjuti proses berpikir tingkat pertama melalui pengumpulan informasi yang relevan dengan topik, pembuatan outline dan penulisan yang lebih menekankan pada proses berpikir logis dan terkontrol.
Jika guru mau dan mampu melakukan berbagai aktivitas pembelajaran yang telah diuraikan maka hal tersebut akan menjadi sebuah kontribusi besar pada peningkatan mutu walaupun dilakukan dalam bentuk pembaruan-pembaruan kecil yang dilakukan di dalam kelas. Jika saat ini pendidikan dianggap gagal karena tidak mampu memberikan kontribusi pada kemaslahatan bangsa. maka inilah saat yang tepat untuk melakukannya.